You are currently viewing Berdiam di Hadirat-Nya: Seni Mendengarkan Tuhan
Berdiam di Hadirat-Nya: Seni Mendengarkan Tuhan

Berdiam di Hadirat-Nya: Seni Mendengarkan Tuhan

Di tengah dunia yang bising, penuh notifikasi, target, dan percakapan tanpa jeda—berdiam menjadi sebuah keberanian. Kita sibuk berbicara, bertanya, bahkan meratap, tapi lupa satu hal penting dalam relasi rohani: mendengarkan Tuhan.


1. Tuhan Masih Berbicara—Tapi Apakah Kita Mau Mendengar?

Kita sering berpikir Tuhan diam. Padahal bisa jadi, kita terlalu gaduh untuk mendengar suara-Nya. Dia berbicara melalui firman, melalui damai yang tak bisa dijelaskan, bahkan melalui keheningan yang dalam.

“Berdiam dirilah dan ketahuilah bahwa Aku adalah Allah.” (Mazmur 46:10)


2. Berdiam Bukan Pasif, Tapi Taat dalam Hening

Berdiam di hadirat Tuhan bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Itu adalah sikap hati yang tunduk, membuka diri tanpa terburu-buru, dan membiarkan Roh Kudus menuntun pikiran kita yang sering kalut.

Dalam keheningan itu, kita belajar percaya—bahwa Tuhan tahu apa yang kita butuhkan, bahkan sebelum kita minta.


3. Latihan Mendengar: Mulai dari Lima Menit

Luangkan waktu lima hingga sepuluh menit setiap hari tanpa distraksi. Duduk, tarik napas, dan ucapkan dalam hati:
“Tuhan, aku di sini. Aku ingin mendengar-Mu.”
Bawa satu ayat pendek dan renungkan. Biarkan firman itu berbicara, bukan hanya dibaca.


4. Suara Tuhan Tidak Selalu Menggelegar

Kadang kita menanti mujizat besar atau suara menggetarkan langit. Tapi lebih sering, Tuhan berbicara lewat:

  • Ketenangan hati
  • Rasa yakin yang muncul perlahan
  • Ayat yang ‘mengena’
  • Perkataan teman atau pengkhotbah yang terasa tepat waktu

Hanya hati yang tenang bisa menangkap bisikan lembut-Nya.


5. Hening adalah Ruang Pertumbuhan Iman

Saat kita berdiam, bukan berarti tidak terjadi apa-apa. Justru di sana iman dibentuk, kedewasaan rohani tumbuh, dan keintiman dengan Tuhan diperbarui. Tuhan tidak terburu-buru, dan kita pun diajak untuk belajar menunggu.


Kesimpulan:

Berdiam di hadirat-Nya adalah seni—dan seperti seni lain, ia membutuhkan latihan, kerendahan hati, dan kepekaan. Tapi justru dalam keheningan itulah, kita benar-benar mengenal suara Gembala kita.

Kadang, jawaban yang kita cari tidak muncul dalam teriakan… tapi dalam keheningan yang kudus.

Leave a Reply